Sabtu, 07 November 2015

Demokratisasi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL. ....................................................................................................... !
DAFTARISI......................................................................................................................... 1
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................  2
I.2 MASALAH / TOPIK...................................................................................................... 2
I.3 TUJUAN........................................................................................................................  2
I.4 METODE PEULISAN..................................................................................................  2
BAB II. PEMBAHASAN
II.1  DEMOKRATISASI DI INDONESIA........................................................................... 3
II.2  DEMOKRASI DIKTOTARIAL (DIBAWAH SOEKARNO DAN SOEHARTO) ......3
II.3  DEMOKRATISASI PASCA ORDE BARU................................................................. 4
II.4  KEADAAN DOMOKRASI DI INDONESIA................................................................5
II.5  DUA BELAS TAUN PROSES DEMOKRASI DI INDONESIA MENJAUH
        DARI MAKNASEJATI................................................................................................  6
BAB III PENUTUP
II.1 KESIMPULAN.............................................................................................................. 7
II.2 SARAN.......................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 8














BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migras para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para imigran politik tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
                        Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru.Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya,

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti
Apa yang dimkasud Demokratisasi dan bagaimana kebijakan pemerintah atas hal tersebut ?

1.3 Tujuan
            Tujuan dari makalah ini adalah sebagai panduan atau sebagai sebagian kecil sumber pengetahuan tentang Demokratisasi yang ada di Indonesia. Dan nantinya bisa menambah pengetahuan dan juga bermanfaat bagi kita.
1.4 Metode Penulisan
Kami mempergunakan metode kepustakaan.Cara-cara yang digunakan pada pembuatan makalah ini adalah :Studi Pustaka
Dalam metode ini kami membaca buku-buku dan brouwsing internet yang berkaitan denga penulisan makalah ini.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEMOKRATISASI DI INDONESIA

Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migras para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para imigran politik tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
            Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).

2.2 Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)

Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
            Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
            Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
            Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main yang ditentukan rezim.
            Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.

2.3 Demokratisasi Pasca Orde Baru

Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
            Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
            Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
            Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.
2.4 Keadaan Demokrasi Indonesia 
Proses demokrasi Indonesia yang bersifat prosedural menghasilkan defisit yang sangat besar dalam hak-hak sosial  ekonomi budaya. Defisit ini terjadi karena adanya jurang yang tajam dalam memahami ‘hak sosial ekonomi budaya’ antara warga negara dengan pemerintah. Negara, di satu pihak memahami ‘hak’ sebatas hak legal (oleh pemerintah). Sedangkan warga biasa melihatnya sebagai yang ‘material menentukan hidup matinya seseorang’. Implikasinya, Negara  merumuskan kebijakan-kebijakan yang abstrak dan jauh dari persoalan hak ekonomi, sosial dan budaya. Kebijakan investasi, misalnya, bukan pertama-tama ditujukan untuk menghormati, melindungi apalagi memenuhi hak-hak warga di bidang sosial ekonomi, budaya. Investasi akan memujudkan hak atas kerja dan kesejahteraan hanyalah sebuah klaim karena itu tak lebih dari akibat sampingan. Negara lebih mengutamakan kepentingan pemodal, tapi abai dengan kepentingan rakyat. Padahal, perwujudan hak-hak tersebut harusnya merupakan tindakan yang disengaja dan bukan sekedar akibat sampingan.
Demokrasi juga masih menyisakan masalah perlindungan kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah dan LGBT. Keanekaragaman, alih-alih menjadi kekuatan, justru disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek. Tindak kekerasan yang terus berlangsung merupakan tanda bahwa demokrasi sebagai “the only game in town” [satu-satunya aturan main] sedang dipertaruhkan. Demokrasi bukannya digunakan sebagai metode mencari kebenaran dalam masyarakat yang terbuka melainkan dikonsumsi untuk kepentingan politik sesaat.
Pemerintah, melalu Bappenas, melansir bahwa Indeks demokrasi Indonesia berada pada nilai 64,31 pada 2010. Pemerintah bahkan menargetkan indeks itu naik menjadi 75 pada akhir 2014. Instrumen yang digunakan adalah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi demokrasi. Namun, survey Demos membantah hal itu dan menyatakan bahwa kebebasan sipil justru memburuk. Perusakan, pembakaran maupun hambatan administrasi pendirian rumah-rumah badah di berbagai daerah terus terjadi. Di Jawa Timur saja, 8 gereja mengalami hal tersebut pada 2010. Kekerasan terhadap minoritas beragama terus meningkat, dengan peristiwa Ciketing, Cikesik dan Temanggung sebagai puncak  cermin hancurnya  kebebasan sipil dalam kehidupan bersama kita.
Negara juga terus menggunakan dan membiarkan kekerasan dam kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Petani, buruh, dan jurnali di berbagai daerah menjadi korban. Konflik kriminalisasi terhadap Andi-Japin warga masyarakat adat  di Silat Hulu, Ketapang; dan kriminalisasi terhadap buruh di berbagai tempat menjelaskan hal tersebut.  Secara khusus, kekerasan yang dialami para jurnalis terus mengalami peningkatan baik jumlah maupun eskalasi (2010-47 kasus/2009-37 kasus)
Oligarki demokrasi juga masih terus berlangsung. Alih-alih semakin representative dan fungsional memperjuangkan kepentingan warga, lembaga-lembaga politik formal justru tersandera praktik politik oligarkik yang memanipulasi dan mengamputasi aspirasi dan amanah rakyat. Implikasinya,  politik transaksional menjadi habitus dalam jagad politik kita. Mandeknya penyelesaian kasus Century, kandasnya angket mafia pajak, keberadaaan Setgab, dan maraknya politisasi penegakan hukum menunjukkan wajah praktik oligarkik itu.
Kultur dan habit berdemokrasi juga masih jauh. Problemnya mengakar padaa endapan masalah soal warga yang bukan pertama-pertama mendefinisikan diri sebagai warga Indonesia melainkan sebagai etnis dan agama tertentu. Suara tidak didasarkan pada pertimbangan ‘baik untuk kepentingan umum’ akan tetapi karena preferensi personal.
2.5 Dua belas tahun proses demokratisasi di Indonesia menjauh dari makna sejatinya
Wajah buram demokrasi di tingkat pusat juga tergambar di tingkat lokal. Desentralisasi yang sedang berproses  tidak serta membawa perubahan pada perilaku korup, nepotisme dan di berbagai tempat justru ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat primodial. Desentralisasi juga diancam oleh penjarahan lembaga-lembaga demokrasi oleh kekuatan-kekuatan anarkis yang lebih mengejar kepentingan diri daripada kepentingan umum. Sementara kecenderungan keterpilihan perempuan dalam legislatif semakin ke lokal semakin sedikit. Afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik tidak berdaya di hadapan realitas politik oligarkis.
Dalam kondisi demokrasi yang buruk tersebut,  selama 12 tahun terakhir gerakan sosial telah banyak melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki proses demokrasi – baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal. Di sejumlah daerah telah terjadi peningkatan pemahaman masyarakat bahwa politik tidak melulu urusan elit. Terdapat pula sejumlah upaya untuk membangun demokrasi dari bawah disamping berbagai eksperimen untuk terlibat dalam politik.Umumnya upaya itu bersifat state centrist dengan menjadi anggota partai politik, anggota DPD, DPR/DPRD, maupun dengan mendirikan partai politik alternatif dan Blok Politik Demokratik. Berkenaan dengan pemastian hak-hak sosial ekonomi, gerakan sosial demokrasi kaya ragam namun sebagian besar masih bersifat ‘cuci piring’ dalam arti mencoba memulihkan hak-hak yang hilang daripada memastikan hak itu menjadi kebijakan intensional negara. Di sisi lain gerakan ini masih menanggung beban umum gerakan yaitu tidak terbangunnya aliansi yang tersusun baik dan berjalan sendiri-sendiri. Secara umum, gerakan  juga menanggung beban berat dengan belum terbangunnya fondasi demokrasi yaitu Demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan, kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan berbagai model kelembagaan demokrasi berbasis kondisi lokal masing-masing.
Mencermati masalah demokrasi yang terjadi serta catatan umum tentang gerakan sosial di atas, maka dipahami secara bersama bahwa upaya membangun konsolidasi berbasis platform gerakan  “demokrasi substansial untuk mewujudkan kedaulatan, kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat” menjadi sebuah keniscayaan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik.

3.2 Saran
            Di harapkan kedepannya mahawiswa mampu mempelajarai dan memahami tentang Domokratisasi yang ada di Indonesia secara umum dan lebih khusus lagi fakultas ilmu keolahragaan sebagai bahan acuhan mengambangkan keilmuan yang dimiliki


























DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar